Skip to main content

Penulis – Lai Ho

  • Tanggal:2023-04-10
Penulis – Lai Ho

Lai Ho yang mendapat predikat sebagai “Bapak Sastra Baru Taiwan”, adalah seorang pujangga, penulis novel juga adalah seorang dokter. Ia dilahirkan dari keluarga etnis Hakka pada tanggal 28 Mei 1894, satu tahun sebelum Taiwan dijajah oleh Jepang. Ayahnya, Lai Tien-sung (賴天送) adalah seorang Pendeta Tao sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Lai Ho sendiri adalah putra sulung dari 7 bersaudara.

Masa kecil Lai Ho dilalui dengan kehidupan sederhana, ia mendapat pendidikan Bahasa Mandarin di sekolah swasta terlebih dulu, kemudian pindah ke sekolah dasar negeri satu Changhua untuk mengenyam pendidikan Jepang. Guru bahasa Mandarin Lai Ho, Huang Chou-chi berpengaruh besar dan memberi Lai Ho dasar kuat tentang sastra Tiongkok kuno. Pada tahun 1909, Lai Ho diterima di perguruan tinggi The Medical School of the Government of Formosa (kini adalah National Taiwan University College of Medicine), selama kuliah ia bertekad kuat mendalami studinya, ia juga semakin membenamkan diri dalam literatur yang pernah dibaca pada masa kecilnya dan memulai menulis puisi.

Di tengah upacara kelulusan kedokteran Lai Ho pada tahun 1914, rektor Jepang dari perguruan tinggi tersebut menyampaikan pesan kepada mahasiswanya, “Sebelum Anda menjadi seorang dokter, Anda harus menjadi manusia. Jika tidak memiliki karakter yang sempurna maka belum dapat menjalani misi sebagai dokter.” Perkataan ini mendorong Lai Ho untuk berbuat kebajikan kepada sesama dan menginspirasinya menjadi seorang dokter yang penyayang.

Setelah lulus kuliah, Lai Ho magang dan buka praktik dokter di Taipei dan Chiayi. Pada tahun 1918, ia bekerja di sebuah rumah sakit di Pulau Gulangyu, Xiamen, Daratan Tiongkok. Satu tahun kemudian ia kembali ke Taiwan dan membuka praktik dokter di kampung halamannya. Lai Ho kerap kali memeriksa orang-orang miskin tanpa pungutan biaya, bahkan memberikan mereka obat-obatan mahal secara cuma-cuma, sehingga penduduk setempat memberinya julukan sebagai “Hou Tuo Yang Terlahir Kembali” dan “Dewa Mazu Changhua”.

Mendapat pengaruh gerakan anti imperialis 4 Mei selama menjalani tugas kedokteran di Xiamen, kemudian Lai Ho kembali ke kampung halaman dan mulai bertekad untuk mempromosikan gerakan sastra baru Taiwan. Bulan Februari 1921, ia bergabung dalam Taiwan Parliament Petition League Movement (atau gerakan aliansi petisi parlemen Taiwan), bulan Oktober pada tahun yang sama Lai Ho berlanjut mendalami proses pengembangan organisasinya dan berpartisipasi dalam Asosiasi Budaya Taiwan (Taiwan Cultural Association, TCA). Saat bersamaan, ia mulai menerbitkan satu demi satu karya sastranya.

Sebagian besar hasil karya Lai Ho difokuskan pada isu kejadian masyarakat Taiwan di masa kolonial Jepang, mencakup proses penguasaan kolonial Jepang dan modernisasi, kerapuhan adat tradisi suku Han, intimidasi dan eksploitasi otoritas Jepang terhadap masyarakat Taiwan, hidup berkesusahan yang dialami masyarakat sipil Taiwan dalam mencari nafkah dan lainnya, dari karya-karya Lai Ho dinilai sangat memperjuangkan humanitarianisme. Pihak yang mendapat perhatian Lai Ho pada umumnya adalah kelompok suku Han di Taiwan, tetapi kadang-kadang ia juga menilik situasi yang dihadapi penduduk asli Taiwan di bawah kekuasaan kolonial, kemudian menggabungkan semua kelompok yang menjadi korban penjajahan Jepang menjadi satu kesatuan, sehingga dia dinilai memiliki “rasa simpati terhadap bangsa” yang tinggi.

Banyak kritikus sastra menilai penulisan narasi Lai Ho diklasifikasikan sebagai tulisan realisme. Karya tulis utamanya bergenre novel, prosa, puisi modern, puisi konvensional. Bahasa yang digunakan dalam hasil karyanya umumnya adalah bahasa Hokkian, Han dan Wasei kango, kendati demikian juga mencerminkan rupa keberagaman bahasa di Taiwan pada masa tersebut. Dari beberapa bahasa yang dikuasainya seperti Bahasa Hokkian adalah bahasa ibunya, ia mendalami karya sastra Tiongkok kuno sehingga belajar bahasa Han, sedangkan bahasa Jepang dipelajarinya saat di sekolah yang didirikan oleh otoritas Jepang. Lai Ho berupaya mempromosikan dan membangun literatur yang dapat diterima oleh masyarakat Taiwan pada masa tersebut, maka lebih menekankan penggunaan bahasa yang akrab dengan kehidupan masyarakat umum sehari-hari dan berharap melalui kesempatan ini menyebarluaskan gagasan gerakan sosial kepada masyarakat.

Lai Ho tutup usia pada tahun 1943 karena menderita penyakit jantung. Ia bersikap welas asih terhadap semua masyarakat Taiwan dan berharap melalui medis kedokteran dan sastra mampu menyadarkan masyarakat Taiwan yang berada di dalam budaya penjajahan, agar dapat bergerak maju dan merintis jalur yang dimiliki Taiwan. Panutan yang ditinggalkan oleh Lai Ho menjadi semangat yang patut diikuti bagi generasi berikutnya.