Museum dengan lahan seluas 3.600 ping (setara dengan 11.901 m2), yang menghabiskan dana berkisar NT$ 380 juta, merupakan museum arkeologi pertama di kawasan utara Taiwan. Desain bangunan yang berasal dari penggalian arkeologi dan konsep nenek moyang yang mengarungi samudra dengan perahu. Secara keseluruhan bangunan ini ada 3 bagian dengan tipe bangunan yang berbeda, yang diibaratkan sebagai berikut: ekspresi dan samudra, masa lalu dan masa kini. Kerangka bangunan dari baja yang melambangkan samudra, semua garis sumbu kerangka yang menunjuk ke arah laut, bangunan beton yang kokoh bertingkat tiga (3) sebagai simbol bentuk gunung. Titik pertemuan antara gunung dan laut adalah menara oktagonal berbentuk miring yang menghubungkan masa lalu dan masa kini serta mewakili garis waktu.Museum Shihsanhang terletak distrik Bali Kota New Taipei, di tepi bagian selatan persimpangan muara Sungai Damshui. Pada tahun 1957, seorang ahli geologi Lin Chao-chi (林朝棨) memastikan prasejarah peninggalan penempaan besi di lokasi ini, kemudian tempat ini diberi nama situs bersejarah Shihsanhang. Melalui penelitian menemukan, kehidupan Shihsanhang berkisar dari 1.800 hingga 500 tahun yang lalu, termasuk sebagai zaman besi prasejarah Taiwan, hingga saat ini dipastikan sebagai salah satu ketrampilan penempaan besi penduduk prasejarah. Mengapa bisa dijuluki dengan nama “peninggalan bersejarah Shihsanhang”? Menurut kebiasaan studi arkeologis, sebagian besar pemberian nama untuk situs prasejarah menggunakan nama tempat terkecil yang ditemukan, sedangkan pemberian nama Shihsanhang disesuaikan dengan lokasi situs tersebut yaitu Dingguili, Distrik Bali, Kota New Taipei dengan nama lainnya adalah “Shihsanhangzuang (atau desa Shihsanhang)”. Pada masa Dinasti Qing, tempat ini pernah menjadi dermaga dagang yang penting, ada sebanyak 13 jenis usaha yang diperdagangkan di lokasi ini, sehingga orang-orang menyebut lokasi ini sebagai “Shihsanhang”, tetapi juga ada cendikiawan percaya bahwa “Shihsanhang” semestinya nama tempat penduduk asli yang dilafalkan dalam bahasa Mandarin. Bukti-bukti yang diperoleh dari penggalian arkeologi, dapat menyimpulkan kehidupan lebih dari seribu tahun yang lalu di mana masyarakat Shihsanhang mengandalkan gunung dan sungai. Sebagai contoh, beras menjadi makanan pokok masyarakat Shihsanhang, selain bercocok tanam, mereka juga menangkap ikan, udang atau mengumpulkan kerang di tepi sungai Damshui, memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya dari muara laut, hutan dan pegunungan yang berlimpah.Dari ditemukan roda pemintal kain yang digunakan oleh manusia purba, dapat diketahui masyarakat Shihsanhang dapat dipastikan juga menggunakan alat sederhana untuk membuat pakaian, akan tetapi dikarenakan beberapa pakaian ini telah terkubur dalam tanah dan membusuk, sehingga tidak dapat diketahui warna dan coraknya. Masyarakat Shihsanhang yang tinggal di rumah kayu yang dibangun tinggi, bertujuan untuk menghindari kelembapan dan melindungi penghuni dari binatang buas. Para cendikiawan beranggapan “rumah panggung” serupa dengan bangunan rumah milik perkampungan penduduk asli.Dari segi usaha, masyarakat Shihsanhang memiliki hubungan dekat dengan pulau Taiwan, pesisir Tenggara Daratan Tiongkok dan kawasan Asia Tenggara, sehingga bisa ditemukan tembikar asing, perunggu, koin masyarakat Hans, manik-manik dan lainnya di situs bersejarah ini. Selain itu, keterampilan tangan masyarakat Shihsanhang sangat maju, mereka tidak hanya bisa menempa besi, menggunakan besi untuk membuat berbagai perangkat kehidupan sehari-hari, juga dijadikan sebagai alat tukar dengan barang-barang lainnya. Mereka juga membuat tembikar yang dibentuk menjadi pot, botol tembikar yang indah, juga memanfaatkan waktu luangnya, membuat boneka tembikar yang berbentuk orang-orangan atau hewan yang indah dan berkesan hidup.Dilihat dari makamnya, untuk penguburan jenazah yang dilakukan sebagian besar masyarakat Shihsanhang adalah jenazah ditekuk, sebagian besar tulang belulang dihadap ke arah barat daya, ada kemungkinan memiliki makna budaya atau kepercayaan, dan menggunakan tembikar, manik-manik, peralatan logam lainnya untuk dikubur bersama. Menurut penelitian akademik mendapati tulang manusia tersebut menunjukkan, kemungkinan besar masyarakat Shihsanhang dan penduduk asli Taiwan memiliki kebiasaan yang sama seperti menyukai mengunyah pinang, tembakau, dan terbiasa jongkok di lantai saat ngobrol dan makan.Meskipun peninggalan budaya yang digali telah mengungkap banyak informasi, tetapi masih banyak misteri yang harus dipecahkan, seperti masyarakat Shihsanhang tinggal di tempat ini selama lebih dari seribuan tahun kemudian mengapa tiba-tiba menghilang, dan hingga sekarang ini masih menjadi misteri. Akan tetapi, berdasarkan tata letak geografis situs bersejarah, dan kemiripan dari bentuk dan corak tembikar, para ahli menyimpulkan hubungan masyarakat Shihsanhang dan penduduk asli dataran Ketagalan sangat erat, tinggi kemungkinannya masyarakat Shihsanhang adalah leluhur dari penduduk asli dataran Ketagalan di Taiwan, akan tetapi Kesimpulan ini masih perlu dipastikan melalui identifikasi DNA tulang manusia yang digali.