“Grup Seni Wayang Kulit Yung Shing Le” adalah tipikal grup seni keluarga, semula tidak memiliki nama permanen, grup ini dirintis oleh Chang Li (張利) berlokasi di lahan pertanian nomor 127 di Yancheng, Desa Mituo, Distrik Gangshan, Kaoshiung berkisar tahun 1896, nama grup seni disebut sesuai dengan nama lokasi. Kemudian, setelah putra Chang Li yang bernama Chang Wan (張晚) mengambil alih, lalu secara resmi memberi nama grup seni sebagai “Grup Seni Wayang Kulit Yung Shing Le” dan beralamatkan di No.28 Dusun Yancheng, Desa Mituo, distrik Gangshan, Kabupaten Kaoshiung. Asal usul terbentuk grup seni ini karena perintis merasa seni pertunjukan adalah suatu hal yang menyenangkan, berharap pemain bisa membawa suasana yang menyenangkan hati penonton di mana pun mereka berpentas, maka grup seni ini diberi nama Yung Shing Le yang mengandung makna kegembiraan yang abadi.
Chang Wan trampil berakting dan menyanyi serta menguasai Chinese Opera seperti kisah pelajar “Cai Bo-jie” 《蔡伯喈》, “Su Yun” 《蘇雲》 dan “Ge Gu” 《蘇雲》. Untuk drama seni bela diri seperti “General Xue Ren-gui Conquered the West” 《薛仁貴征西》, “Duo Wu Kuei”《奪武魁》dan lainnya cukup populer di kawasan sentral dan selatan. Chang Wan mewariskan ketrampilan seni kepada kedua putranya yaitu, Chang Zuo (張做) dan Chang Sui(張歲), kedua kakak beradik ini mengemban tugas utama di balik layar, bertanggung jawab atas penampilan latar musik gong dan perkusi. Chang Sui memiliki kepribadian jujur dan setia, juga trampil dalam seni. Kondisi “Grup Seni Wayang Kulit Yung Shing Le” selalu mengalami kekurangan tenaga maka Chang Sui menjadi mitra yang terandalkan, kerap kali dalam pertunjukan bersama Chang Sui sambil belajar dan menyerap esensi ketrampilan pertunjukan dari berbagai grup seni, semua ini demi “Yung Shing Le” agar memiliki dasar seni pertunjukan yang mengakar dan kokoh. Chang Sui pernah bekerja sama dengan beberapa dalang wayang grup seni diantaranya Tsai Lung-his (蔡龍溪) dari “Grup Seni Wayang Kulit Jin Lian Hsing”, Song Ming-shou (宋明壽) (dijuluki sebagai Song Mao) dari “Grup Seni Ming Shou Xing, Chen Chu (陳貯) dari “Grup Seni Wayang Kulit Fei He”, Chang Tian-bau (張天寶) dari “Grup Seni Wayang Kulit He Hsing”, Tseng Cai-cheng(曾再誠) dari “Grup Seni Wayang Kulit Zhi Cheng” dan Chang Ming-sou (張命首) dari “Grup Seni Wayang Kulit Xin Shing”.
Dikarenakan sebagian besar grup seni wayang kulit merupakan warisan keluarga, maka bagian masyarakat awam sulit untuk memasuki ranah ini. Berkat kemahiran Chang Sui di balik layar membuatnya terpilih sebagai kandidat kru kerja di balik layar yang paling disukai oleh para dalang. Chang Sui banyak melakukan pertukaran pengalaman dengan para seniman, untuk memperluas kemampuan dalam pertunjukan dan baginya ini sangat berharga. Chang Sui sambil belajar dan menyerap esensi kemahiran dari grup seni lainnya, beberapa kisah yang paling representatif seperti novel heroik “The Six Kingdoms”, “Five Tigers Conquered the West”, ”Five Tigers Pacify the South”, “Fengshen Yanji” (Penganugerahan Malaikat), “Peach Garden Oath” (Sumpah Setia Tiga Saudara di Taman Persik), “Legend of The General Who Never Was” dan lainnya, berkolaborasi dengan ketua grup seni lainnya sambil mengasah kemampuan diri agar pertunjukan berikutnya dapat tampil lebih optimal. Chang Sui pernah mendapat penghargaan pemain unggulan untuk seni pertunjukan rakyat dari pemerintah kota Kaoshiung.
Berlanjut dengan generasi ke-empat yaitu Chang Xin-guo (張新國) dan Chang Ying-jiao (張英嬌) juga meneruskan usaha ayahanda, mereka berdua berupaya keras untuk mempromosikan seni wayang kulit ke sekolah-sekolah, instansi kebudayaan, pusat perbelanjaan, kuil-kuil dan lainnya, bahkan beberapa kali mendapat undangan untuk tampil dalam festival pertukaran seni budaya di luar negeri. Chang Xin-guo berhasil meraih gelar kehormatan khusus dalam penghargaan seni tahun 2018 yang diberikan oleh pemerintah kota Kaoshiung (Kaoshiung City Culture and Arts Award).
Chang Hsin-hong (張信鴻) sebagai generasi penerus ke-lima, yang berpegang pada budaya tradisional dan berbaur dengan seni pertunjukan kreatif modern. Ia mengatakan, semula seni pertunjukan wayang kulit ditampilkan di kuil-kuil di pedesaan untuk acara persembahan dewa. Kemudian, grup seni berharap ada peluang untuk mengembangkan seni budaya wayang kulit, saat bersamaan selalu bersikap terbuka, menciptakan karya drama baru serta menarik dan membangun kelompok audiens baru, misalkan: berkolaborasi dengan animasi cerita “Legend of Mount Banping”, berbaur dengan dongeng Jepang “Momotaro” dan kisah “The Sandbag Trilogy” yang merupakan gagasan kreatif kolaborasi dengan kehidupan modern dan sastra klasik dari kisah “Journey to the West: The Mountain of Flames” dipadukan dengan gerakan wayang kulit yang menarik, ditambah dengan tampilan fisik dan suara binatang yang beragam menjadi cara penampilan kisah cerita yang lain. Pada tahun 2016 grup seni ini terpilih menjadi unggulan grup seni pertunjukan di kota Kaoshiung.
Grup Seni Wayang Kulit Yung Shing Le yang berusia lebih dari seratusan tahun, memberikan pertunjukan seni yang menggambarkan keberagaman gaya hidup masyarakat Taiwan. Selain melestarikan tradisi lama, grup seni Yung Shing Le juga bersikap terbuka dan menyerap teknologi baru, dipadukan dengan cara tradisional dalam pertunjukan seni wayang kulit. Memberi suntikan vitalitas untuk seni pertunjukan tua dan berharap agar semakin banyak orang menyaksikan dan merasakan nilai seni dari wayang kulit.